Kamis, 15 Maret 2018

CERUAN (Cerita Pendek Tak Bertuan)

“SEMANIS BONGKOU”
Asmara yang Terpenjara di Pelataran Multimedia

Oleh: A.N. Sabiyasa

 “Hai Vi..!!” suara Jaka bergetar dengan tatapan mata tetap menunduk. Sambil duduk dan sesekali mengayun-ayunkan sepasang kakinya untuk mengalihkan rasa grogi yang kian memuncak.
“Ia, ada apa, Jaka..?!” sahut Vivi seraya menatap wajah Jaka yang masih menunduk itu dengan penuh tanya.
“Maafkan aku. Kau terlalu indah Vi.., dari ujung rambut hingga ujung jemari kakimu” Jaka mulai memberanikan diri mengangkat wajahnya dan membalas tatapan Vivi.
“Ah.. lebay kamu.. mana rambutku? Mana kakiku?. Bukankah rambutku tertutup kerudung, kakipun lagi pake sepatu..!” jawab Vivi sambil berdiri memberi isyarat dengan memegang kepala yang terbalut kerudung dan menunjuk sepasang kakiny ayang masih tertutup sepatu hitamnya.
“Hehe iya ya... tapi meskipun rambut dan kakimu tertutup tetap aku bisa membayangkannya, karena rasaku melampaui itu semua, Vi..!?” Jawabnya sambil berdiri, kini mereka berdua sama-sama berdiri. Si Jaka dengan gaya serius, si Vivi tetap dengan respon yang dingin.
“Vivi.. Izinkan aku melukis dirimu, untuk bisa kunikmati sendiri lukisannya. Kamu terlalu indah untuk juga dimiliki lelaki lain. Telah kusiapkan kuas yang khusus. Ujungnya memang tajam mengkilat, dan tak perlu cat jenis apa pun untuk melukis dirimu, tapi jika kau masih juga tidak mau mengerti, niscaya darahkulah yang akan menjadi catnya..!” Jaka menimpali dengan tetap melancarkan rayuan mautnya.
“Cie.. cie.. cie... kamu itu ya, dasar laki-laki, mainnya cuma di kata-kata. Lebaynya pun minta ampun..! mengerikan, Jak..!. Kayak anak zaman sekarang, sedikit-sedikit main corat-coret lengan dengan pisau atau kaca hingga berdarah-darah, wuih...!!” Ujar Vivi dengan tanggapan yang tetap hambar, maklumlah Vivi ini adalah tipe cewek yang sedikit keras kepala, pola pikirnya beranjak dewasa, tak mudah terpesona oleh rayuan apalagi hanya dengan kata-kata puitis.
***
Percakapan tak seimbang antara Jaka dan Vivi tersebut, tidak hanya terjadi sekali dua kali, bahkan sudah beberapa kali. Lama kelamaan membuat Jaka berpikir dua kali untuk merayu Vivi dengan kata-kata lagi, bak pisau hendak mematahkan baja. Sulit..!!
Akhirnya dia berpikir ulang, bagaimana cara mengungkapkan rasa cinta di hatinya pada Vivi. Jadi sekali lagi, dia tidak sedang putus asa, hanya berpikir strategi jitu yang mungkin bisa meluluhkan hati Vivi.
“Oia.. mungkin melalui pihak ketiga, meminta bantuan teman-teman dekatnya untuk mengungkapkan perasaanku. Ah...! ini tidak gentle..! masak laki-laki masih menggunakan pihak ketiga, alih-alih sukses, malah kemungkinan pihak ketiga tersebut yang akan dapat nangkanya, aku dapat getahnya. Biasanya pihak ketiga berubah jadi Mak Jomblang; ekala’ dhibi’..” Jaka merenung diteras rumahnya sambil menikmati temaram jingga sang surya di ufuk barat, memikirkan dan mencari cara untuk meluluhkan hati Vivi.
Tiba-tiba ia dikejutkan kucing miliknya yang tiba-tiba meloncat dan merebahkan diri dipangkuannya, membuyarkan lamunannya sore itu. Dengan refleks ia mengelus sayang si kucing itu, sontak kucing tersebut semakin manja di pangkuan Jaka dengan mlungker di atas haribaannya.
Kini lamunannya berganti, dari memikirkan Vivi berubah merenungi si Kucing. Wah...!, lamunan kelas kakap ini. Sekilas tentang kucing, hewan tersebut datang sendiri ke rumahnya, mungkin karena di buang oleh pemilik sebelumnya, atau mungkin kesasar, atau jangan-jangan kucing kiriman dari Tuhan untuk menemani Jaka saat kesepian. Entahlah...!
Kucing tersebut awalnya galak, beringas, dan tidak jinak. Tapi berhubung setiap waktu dan rutin, Jaka selalu memberi makanan kesukaannya, khususnya ikan laut, dan selalu mengelus-elus si kucing. Meskipun jarang Jaka berbincang-bincang dengan kucing piaraannya tersebut, tapi kasih sayangnya pada kucing selalu ditunjukkannya dengan sikap dan perilaku sebagai bentuk perhatian, akhirnya kucing tersebut mulai jinak dan manganggap si Jaka sebagai tuannya. Setiap Jaka duduk santai di teras rumahnya, kucing tersebut mendekat lalu tidur-tiduran di pangkuan Jaka.
“Nah... itu dia, ada isyarat baik ini... Jika aku memperlakukan kucing liar ini dengan sikap dan perilaku baik mampu merubah liarnya menjadi Jinak, kenapa tidak aku gunakan untuk mendekati Vivi ya...??” tiba-tiba terlintas sebuah strategi PDKT di benaknya.
***
Dengan semangat baru, wajah ceria, dengan balutan senyum bergairah, Jaka beranjak dari duduknya sambil menggendong itu si kucing, menimang sayang layaknya bayi di gendongan, seraya bernyanyi lembut lirik lagu India “Rab Ne Bana De Jodi” kesukaannya. Seperti ada wangsit yang tak sabar ingin dia terapkan dan segera laksanakan. Rencana ikhtiar dan akan mencoba menggunakan strategi yang baru dia dapatkan, siapa tau mampu meluluhkan hati Vivi sebagaimana yang telah dia lakukan pada si Kucing. Kucing adalah hewan, manusiapun juga termasuk hewan. Bedanya, kalau kucing adalah hewan yang tak berakal, sedangkan manusia adalah hewan yang berakal dan dapat berbicara. Vivi adalah manusia, dia punya akal. Masak setingkat kucing yang tak berakal bisa luluh, apalagi setingkat Vivi. Kemungkinan bisa luluh juga nantinya.
Lama menimang dengan iringan nyanyian si Jaka, suara dengkur kucing semakan lama semakin keras, sepertinya nyenyak sekali tidurnya kucing tersebut di gendongannya. Perlahan ia letakkan dilantai, kucingpun terjaga, seraya mengerak-gerakkan ekornya sembil menyerudukkan kepalanya pada betis Jaka menandakan kucing tersebut masih ingin berlama-lama digendongan Jaka.
***
Hari sudah mulai gelap, adzan maghrib berkumandang. Jaka seperti biasa melaksanakan rutinitas petangnya dengan berkemas dan bergegas ke mushalla untuk shalat maghrib dan ngaji Al-Qur’an pada Ustadz ngajinya. Maklum dirinya termasuk anak rajin di kampungya, tipe serius menyikapi sesuatu, tidak neko-neko, baik dalam urusan belajar hingga dalam urusan asmara.
Sehabis shalat Isya berjamaah dengan ustadz dan teman-temannya yg lain di mushalla lalu ia pulang, makan malam bersama keluarga, mempersiapkan pelajaran besok dan menelaahnya kembali untuk menjaga kemungkinan ada tugas rumah dari guru di sekolah yang belum sempat terkerjakan.
Setelah semua beres, segera ia menuju pembaringan untuk istirahat. Tumben biasanya Jaka masih keluar sebentar untuk sekedar nongkrong dengan teman-temannya di gardu samping rumahnya. Malam tersebut, hasrat yang demikian tidak ada. Ia lebih memilih langsung tidur, apa mungkin ia tak sabar menunggu mentari esok hari, atau ingin cepat-cepat ke sekolah dan bertemu pujaan hatinya. Entahlah..!
Merebahkan badan di atas kasur, meletakkan kepala di atas bantal, miring memeluk guling, membaca doa sebelum tidur, memejamkan mata, lalu terlelaplah ia dalam tidur.
***
 “Astaghfirullah....!! kenapa dengan kucingku..??” ia tersentak dan terbangun dari tidurnya lalu duduk seraya membaca doa bangun tidur. Melihat jam di dinding, ternyata masih menunjukkan jam 03.50 pagi. Rasa kantuk sudah tiada, dan sayup-sayup La-Sola terdengar dari masjid seberang. Udara masih dingin, rasanya masih enak kalau dilanjutkan tidur. Namun akhirnya ia putuskan untuk beranjak bangun, menuju kamar mandi untuk persiapan shalat shubuh.
Dalam perjalanan menuju kamar mandi, ia setengah mencari kucing yang sempat hadir dalam mimpi tidurnya.
“Oh itu kucingku.. rupanya masih tidur nyenyak..!” Jaka melihat kucingnya masih mlungker mendengkur di shofa ruang tamu. Sedikit lega terobati setelah sempat khawatir telah terjadi apa-apa dengan kucingnya.
Setelah shalat shubuh dan langit sudah mulai terang, ia lakukan aktifitas rumah seperti biasa. Membereskan tempat tidur, membantu ibu menyiapkan sarapan pagi keluarga di dapur meskipun dirinya anak laki-laki, menyapu, dan mencuci pakaiannya sendiri.
Pekerjaan rumah selesai, sehabis mencuci pakaian, mandi, ganti pakaian seragam sekolah, dilanjutkan sarapan pagi bersama keluarga, lalu ia pamit pada ayah ibu salaman cium tangan mereka berdua dan berangkat ke sekolah.
***
Sebelum masuk di lingkungan sekolah, Jaka istirahat sebentar sambil duduk di gardu luar pintu gerbang sekolah. Lalu muncullah temannya, ia bertemu dengan teman kelasnya yang juga baru datang. Namanya Lihun, nama lengkapnya Shalihun, namun teman-temannya biasa memanggilnya “Caesar Lichun” yang dinisbatkan pada Kaisar yang murah hati dan ikhlas selalu memberi dan berbagi pada teman-temannya. Dia satu jenjang kelas dengan Jaka, tapi beda ruang. Lihun kelas IX B, dan Jaka kelas IX A.
“Hai Jaka..! ini aku bawa sesuatu untukmu, hari ini khusus untukmu..!” ucap Lihun seraya merogoh tas ransel yang tertaut di pundak kirinya.
“Oyah...! bagus tuh...! kamu memang sahabatku yang top-markotop, Hun..!” seloroh Jaka menyambut niat baik hati si Lihun.
“Aku berikan padamu disini di luar sekolah, agar tidak diketahui teman-teman yang lain. Bukan karena apa, aku membawanya terbatas, Cuma dua ni..! aku satu, kamu satu...” Ujar Lihun sambil mengeluarkan dari tasnya, menyodorkan satu bungkusan yang ada di tangan kanannya pada Jaka, dan tangan kirinya tetap memegang yang satunya lagi.
“Wah apa ini...?! kayaknya aromanya aku kenal deh..!” kata Jaka seraya menciumi bungkusan dari Lihun.
“Ia, itu Bongkou namanya, jajanan khas Arosbaya, tadi pagi aku dapat dari Ayah yang kebetulan pagi-pagi pergi ke pasar Arosbaya, sekalian aku nitip itu pada ayah. Nah, mumpung masih ada waktu, gimana kalau kita makan dulu di sini? Gak enak ama teman-teman yang lain, nanti disangka aku pilih kasih” Diplomasi Lihun agar Jaka mau menerima tawaran dirinya untuk makan bersama di gardu luar, beberapa meter dari sekolah.
“Aduh..! mohon maaf sebelumnya, Lihun!. Bukan aku gak mau menghormati maksud baikmu untuk makan bersama di sini. Aku masih kenyang nih dengan sarapan pagi tadi, gak ada tempat kayaknya di lambung ni...!” jawab Jaka seraya mengelus-putar perutnya menunjukkan bahwa dirinya masih kenyang.
Gak apa-apa ya..?! aku tetap terima hadiah terindahmu pagi ini, nanti istirahat akan ku makan, kalau perlu bungkusnya akan kumuseumkan nanti di rumah sebagai bukti hadiah dari teman sejati” sahut lebay Jaka untuk menangkis diplomasi Lihun.
“Ah kamu..! paggun bheih...! lebay tingkat dewa..! gak usah segitunya lah.. biasa aja, gak perlu kau museumkan bungkus Bongkounya di rumahmu. Kalau misalnya kamu masih kenyang ya gak masalah tidak ikut serta menyantapnya disini bersamaku. Ingat ya.. gak usah dimuseumkan bungkusnya.... Bahkan kalau kau tidak selera misalnya, boleh kau sedekahkan kembali ke orang lain. Intinya Bongkou itu apa ca’eng kakeh..!, Jaka..!!” Ujar Lihun menimpali.
“Baiklah kalau gitu, terima kasih banyak ya... Selamat menikmati untukmu.. maaf aku tinggalkau kau sendirian..” ucap Jaka pamitan seraya memasukkan Bongkounya ke dalam tas yang dia gendong.
***
Jam yang melingkar di pergelangan tangan kirinya menunjukkan jam 06.50 WIB. Sepuluh menit lagi bel berbunyi sebagai tanda masuk kelas. Di depan pintu kelas Jaka berpapasan dengan Vivi. Mereka berdua hampir bertubrukan, lalu sama-sama berhenti, sama-sama mundur satu langkah. Sepasang mata mereka saling menatap, sunyi, senyap tanpa suara. Seolah-olah ada kekuatan yang menahan mereka untuk berhenti dan tidak saling mendahului berebut masuk ruangan. Di hati masing-masing, ada beribu kata tapi tak mampu terucapkan, hati mereka sama-sama bergetar. Dag dig dug ser...! jantung mereka pun sama-sama mendesir memompa kencang darah untuk untuk lekas mengalir. Duh..! Bede apa jeh..!?
“Silahkan masuk..!! kamu dulu yang masuk!” ujar Vivi memecah kesunyian mempersilahkan Jaka untuk masuk ruangan lebih dulu.
“Oh, tidak Vi..! dari jarak kita ke daun pintu tadi, engkaulah yang lebih dekat dengan pintu. Kita budayakan antri, siapa yang lebih dulu, ya dia yang dapat kesempatan. Silahkan kamu duluan, silahkan masuk!” sahut Jaka seraya menunduk mempersilahkan Vivi masuk bak mempersilahkan Sang Ratu.
“Ah.. kamu Jak..! tumben kau bijak hari ini, mimpi apa semalam dikau itu...? atau jangan-jangan sifat lebaymu mulai kambuh...hehe..” jawab Vivi seraya mengibaskan buku yang sedang dia pegang ke arah wajahnya, sehingga menimbukan angin yang menerpa wajah Jaka membuyarkan setengah lamunannya.
“Ayo Jaka...! sebentar lagi Bel berbunyi, guru datang dan masuk kelas. Apakah kita akan tetap berdiri disini di depan pintu dengan keangkuhan kita masing-masing!? Dan menghalangi guru masuk ke kelas!?. Udahlah kamu masuk duluan, lagian kamu tahu sendiri kan, bahwa laki-laki itu gak boleh berjalan di belakang perempuan lho...! makanya kamu dulu yang masuk sana, aku menyusul dibelakangmu nanti.. Okkay..!” papar si Vivi bersikukuh dengan sikapnya.
“Baiklah Vi...! hari ini aku setuju denganmu, tapi mungkin lain kali tidak, hem..!” jawab Jaka singkat, seraya merogoh tas miliknya dan mengambil sesuatu. Ya, mengambil bungkusan Bongkou hasil pemberian temannya, si Lihun, lalu menyodorkannya pada Vivi. Refleks Vivi menerima dengan tangan kanannya. Sedangkan tangan kirinya masih memegang buku. Saat serah terima bungkusan Bonkou itulah, Teeeeettttttt..! bel masuk kelas berbunyi.
“Apa ini Jak..!?” tanya Vivi penasaran sambil menelisik bungkusan yang barusan ia terima.
“Untukmu, dariku padamu. Simpan saja di tas, cek lagi nanti pas istirahat” jawab Jaka singkat seraya melangkahkan kaki masuk kelas, di ikuti Vivi menyusul dibelakangnya yang kepo memasukkan cepat-cepat bungkusan tersebut ke dalam Tasnya. Khawatir ketahuan guru, kalau ketahuan bisa berabe, dan tentu Baper.
Selang beberapa lama, datanglah guru jam pelajaran pertama. Masuk kelas, salam, doa bersama, menyanyikan lagu Indonesia Raya, membaca sebagian surat-surat pendek, mengabsen, review pelajaran minggu lalu, menjelaskan garis-garis besar materi dan seterusnya.
Selama pembelajaran berlangsung, Vivi yang duduk berada di deretan bangku tengah barisan ke tiga, sesekali bahkan sering memperhatikan Jaka yang kebetulan duduk di bangku barisan paling depan. Masih dirundung penasaran dengan perubahan mendadak yang terjadi pada temannya itu, ya si Jaka. Sejak beberapa hari terakhir, Vivi melihat Jaka lebih rendah hati, lebih banyak mengalah, dan tidak egois. Biasanya si Jaka sering menyerobot antrian, entah di kantin ataupun ketika hendak masuk kelas. Anehnya lagi, tumben ia mau berbagi, padahal jarang Vivi menemukan sifat murah hati pada diri Jaka, biasanya stell chuek’s berkenaan dengan camilan atau makanan misalnya, jarang sekali menawarkan ke teman-temannya. Begitulah kecamuk di dalam pikiran Vivi.
Saat pembelajaran berlangsung, eh.. Vivi malah tak habis pikir dengan gaya berbeda yang ditampilkan oleh si Jaka yang duduk di depan dengan tenang dan khusuk memperhatikan penjelasan guru. Lha wong biasanya duduk di belakang sambil tidur-tiduran dan kadang tidur beneran.
***
Sudah tiga hari pasca kejadian “serah terima” Bongkou di depan pintu itu terjadi. Bagi Vivi, si Jaka benar-benar banyak perubahan. Awalnya Vivi mengenal Jaka sebagai cowok yang super lebay, apa lagi terhadap dirinya. Kini sudah mulai berubah, jangankan merayu dengan kata-kata mutiara indah, berbicara biasa pun dalam tiga hari ini sepertinya tidak pernah. Ia tampak jarang bergabung dengan teman-teman perempuannya yang lain, lebih banyak menghabiskan waktunya di perpus, baca-baca buku atau sekedar bergitar ria dengan teman-teman lelakinya. Latihan futsal atau basket ball di halaman sekolah, saat istirahat atau setelang pulang.
Hari berganti hari, minggu berganti minggu, perubahan pada diri Jaka semakin tampak, khususnya dari pergaulan sehari-hari di lingkungan sekolah. Jaka lebih sering tampak menyendiri, sesekali main gitar dengan alunan lagu-lagu mesra yang dia alunkan di bawah pohon keres depan Multimedia.
Nah... saat seperti inilah, pada diri Vivi seperti ikutan berubah, ada sekelebat rindu akan kekonyolan bahkan ke-lebay-an Jaka, ya kangen gaya-gaya Jaka yang dulu, diskusi dengan ego masing-masing sehingga sama-sama tidak mau kalah. Vivi jadi rindu itu semua.
“Jaka..! ada apa denganmu, hah..??!!” gumam Vivi dalam hati merenung sendiri, sambil duduk sendirian di teras kelas memperhatikan Jaka di bawah Pohon Keres sana yang sedang membawakan lagu India “Tum Hi Ho” dengan petikan dawai gitar yang ia mainkan.
Dipikir lama dipikir, direfleksi ke beberapa minggu sebelumnya, tiba-tiba Vivi terantuk pada sebuah peristiwa tempo hari. Yach.. peristiwa terakhir di depan pintu kelas, peristiwa diskusi singkat namun debatabel dengan egoisme masing-masing.
“Apa aku telah melakukan kesalahan padanya ya..??!” pikir Vivi semraut sambil mengeryitkan dahi mencoba mengingat kembali peristiwa yang telah lalu.
“Apa karena aku tak mau kalah saat diskusi singkat di depan pintu ya... atau karena aku lupa tak berterima kasih atas pemberian Bongkou darinya ya.. atau...” Tiba-tiba Vivi teringat pada peristiwa sebelumnya. Jaka pernah merayu dirinya dengan gaya lebay, meski tak mengungkapkan asmara secara jelas ketika itu, tapi Vivi mersponnya dengan dingin bahkan sedikit meremehkan.
“Apa karena rayuan yang ku bilang lebay itu ya...!!??” pungkasnya mengakhiri lamunannya karena bel istirahat telah berbunyi dan ia langsung menuju kantin dengan teman-temannya.
***
Sudah lima bulan lebih, perubahan sikap Jaka di mata Vivi, begitu pula sebaliknya, sikap Vivi di mata Jaka, akhirnya mereka sama-sama terbiasa dengan perubahan pada diri masing-masing. Tidak ada pertanyaan maupun jawaban yang terungkapkan di antara keduanya. Mengalir begitu saja.
Namun pada suatu kesempatan. Saat jam ketiga dan keempat (08.20 – 09.40) dimana ketika itu dewan guru sedang rapat mendadak di ruang guru dipimpin langsung oleh kepala sekolah, seperti ada hal yang krusial yang butuh penyelesaian dan solusi secepatnya. Siswa-siswi diberikan tugas belajar diluar kelas, membersihkan taman, piket menyapu, menyiangi rumput, membersikan selokan, dan lain sebagainya.
Setelah proses pembelajaran di luar kelas tersebut usai, dan rapat dewan guru belum kelar, anak-anak dikasih waktu istirahat panjang sebelum masuk kelas lagi melanjutkan pembelajaran. Saat itulah Vivi melihat Jaka sedang sendirian di tempat biasa, main gitar di bawah pohon keres depan multimedia. Tiba-tiba Vivi berinisiatif kesana menghampiri Jaka.
“Jaka..! bolehkan aku duduk disini?” tanya Vivi pada Jaka yang tetap asyik dengan gitarnya.
“He’em..!” Jawab Jaka singkat tetap asyik dengan gitarnya.
Vivi duduk di samping kanan Jaka agak menjauh sekira dua hastah. Tak ada suara tak ada kata tak ada bahasa dari lisan mereka berdua. Larut menenggelamkan diri dalam gejolak jiwa masing-masing. Hanya terdengar dentingan dawai gitar dan suara rendah Jaka yg sedang menyanyikan sebuah lagu.
“Jaka..!” sahut Vivi memecah kesunyian jiwa, namun tak ada respon dari Jaka yang tetap asyik memetik gitar.
“Jaka..!? bolehkah aku berbicara denganmu” sekali lagi Vivi mencoba memulai perbincangan, namun tetap direspon dengan sikap yang sama seperti sebelumnya.
Beberapa lama Vivi memilih diam tak bertanya lagi karena respon Jaka masih tetap dingin dan hambar.
Sambil beranjak dari tempat duduknya, akhirnya Vivi mendekat dan berdiri di hadapan Jaka, menatap wajahnya yang menunduk dan fokus pada gitar yang ia mainkan. Dengan cekatan Vivi memegang fred gitar yang sedang Jaka mainkan, sehingga suara senarnya pun terhenti. Jreng..!
“Jaka..!? bisakah kau mendengarkanku? Sebentar aja!” Suara Vivi rendah melemah berharap agar Jaka berhenti memainkan gitarnya dan beralih mendengarkan ucapannya.
Akhirnya Jaka memilih berhenti memainkan petikan gitarnya, dengan pandangan tetap kosong ke bawah, tak berselang lama kemudian pandangannya ia naikkan ke atas memandang dingin wajah yang sejak tadi berada dihadapannya.
Gitar tetap berada dalam dekapannya dan beberapa lama tanpa merespon Vivi, akhirnya Jaka baru bisa menimpali dan merespon suara Vivi setelah fred gitar sedikit demi sedikit terlepas dari genggaman Vivi.
“Silahkan duduk, ada apa..?! Jawab Jaka mempersilahkan Vivi duduk kembali.
Tanpa menjawab sepatah katapun, akhirnya Vivi duduk ke tempat semula, di emperan teras multimedia. Suasana hening, sehening jiwa dua manusia ini. Kini mereka berdua seperti dua orang yang sedang tak akur dengan tatapan kosong ke depan.
Di hadapan mereka, tumbuh dua pohon keres yang sudah tua, buahnya yang ranum-ranum berguguran berceceran di tanah terkena injak kaki anak-anak yang mengambil buah yang masih di atas pohon. Mengorbankan yang sudah masak yang berada di tanah demi mendapatkan buah yang masak yang masih di pohon. Sekilas terlintas di antara kebisuan pikiran mereka berdua, ternyata masih sempat memikirkan hal yang sama; tentang buah keres yang masak yang terjatuh sia-sia di tanah.
“Jaka..! aku tak ingin seperti buah keres itu, sudah ranum masak ternyata hancur terkena injak anak-anak di tanah. Aku ingin seperti buah keres yang masak tapi tetap menyatu dengan pohonnya di atas, aku tak mau terjatuh dan tak termanfaatkan... Ngertikan kau maksudku..!!??” Ulas Vivi dengan mengiaskan harapan hatinya melalui nasib buah keres yang berjatuhan ke tanah.
“Entahlah Vi.. Kalimatmu terlalu tinggi dan tak dapat ku pahami.. aku tak paham apa maksudmu..!” jawab Jaka menimpali.
“Aku perhatikan, aku rasakan, aku jalani, dan aku alami, kau sudah mulai berubah. Dan perubahanmu sangat tiba-tiba dan drastis. Aku sempat bertanya-tanya; Kemanakah sikap lebaymu yang dulu?, kemana pendapat-pendapatmu saat kita diskusi?. Hal demikian sudah tidak kurasakan lagi sekarang. Sikapmu sudah dingin dan hambar padaku. Jaka..! Apa yang telah membuatmu bersikap demikian? Apa diriku telah melakukan sesuatu yang menyinggung perasaan dan melukai hatimu..??!” ujar Vivi setengah mencurahkan unek-unek hatinya, terbawa perasaan (baper).
“Vivi,, tak ada masalah diantara kita, tidak ada yang perlu diselesaikan. Kalaupun kau mengatakan aku telah berubah, itu bukan karena dirimu, kau tidak bermasalah denganku. Jujur.. sebenarnya hubungan persahabatan kita tetap, tapi dengan cara yang berbeda!” jawab Jaka sudah mulai membuka diri.
”Nah, itu maksudku..!, berarti kau mulai benar-benar berubah. Sikap dan perilakumu tidak seperti biasanya lho...!!” sanggah Vivi dengan wajah yang sedikit berbinar tapi tetap penasaran.
“Aku seperti ini, bukan maksud merubah diri. Aku hanya ingin belajar menata jiwa agar belajar lebih dewasa. Bagaimana sikap dan perilaku dewasa, ya begitulah aku belajar..!” ucap Jaka sambil meletakkan gitar di pampang yang sejak tadi dia dekap di pangkuannya, sambil mengingsutkan duduknya sedikit miring menghadap Vivi.
“Okelah..! dulu aku dikenal lebay padamu, egois, dan tak mau mengalah. Sekarang aku belajar untuk merubah itu semua. Khususnya kepadamu..!” jawab Jaka dengan tegas.
“Lho..!? kok bisa khusus kepadaku, Jaka..!” jawab Vivi langsung memotong penjelasan Jaka.
“Iya Vi, khusus kepadamu. Aku tidak hanya ingin menganggapmu sebagai sahabat biasa, tapi lebih dari itu semua.. aku.. aku..” Suara Jaka seperti terhenti-henti tidak mampu mengeluarkan kata-kata lagi. Semacam ada hal aneh yang ada di tenggorokannya sehingga sulit untuk bersuara.
Suasana hening sejenak, Vivi membuang pandangan ke depan, sesekali melihat keatas pohon keres, menatap beberapa buah keres yang ranum, kemudian menunduk, menghela napas panjang, dan kembali menatap wajah Jaka yang tetap masih menunduk dengan mulut yang seperti terkunci. Vivi rupanya sudah mulai bisa menerka-nerka apa kalimat yang akan terlontar dari lisan Jaka untuk dan tentang dirinya.
“Maksud kalimatmu -khusus kepadaku-, memangnya tentang apa Jaka..!?” jawab Vivi memecah kesunyian.
“Vivi.. kau tau kan?!, pemberian terakhirku padamu di depan kelas dulu sebelum kita masuk ruangan?!” tanya Jaka mengalihkan sedikit permasalahan ke masa lalu.
“Iya, aku masih ingat. Kau memberiku sebungkus Bongkou dan aku lupa sampai sekarang belum berterima kasih padamu. Oia.. terima kasih Ya Jaka Bongkounya..!! enak banget, manis dan aromanya itu bikin aku ketagihan..! hehe.. apalagi kudapatkan dengan gratis dan cuma-cuma dari seorang sahabat terbaikku.. heheh..” jawab Vivi dengan sidikit riang dengan maksud guyon agar suasana tidak tegang.
“Ya itulah perasaanku padamu Vi..! Sejak saat itu aku sebenarnya ingin mengatakan tentang rasaku ini. Aku ingin seperti Boungkou yang telah kau cicipi, rasanya manis bukan..!?, aromanya bikin kamu ketagihan, kan..!? Dan aku memberikannya tanpa mengharap imbalan apapun darimu, bahkan meskipun kau belum sempat berterima kasih padaku, bagiku tidak masalah. Karena kata guru kita, pemberian yang ikhlas itu tidak terbahasakan.. makanya sejak saat itu aku tak pernah mengungkit-ungkitnya lagi...!” Jaka mulai menjelaskan dan sedikit mengarahkan pada maksud yang sebenarnya. Vivi hanya diam membisu, mencoba menafsirkan kembali makna dari kalimat-kalimat yang digunakan Jaka tentang Boungkou.
“Vivi.. Perasaanku padamu sejak saat itu hingga sekarang, kini menjelma seperti manisnya Bongkou Vi..! aku mencintaimu Vi..! cinta yang manis semanis Boungkou...! bahkan melebihi dari itu semua.. Aku tidak akan menjadikanmu pacar.. aku hanya ingin mempersiapkan dirimu sebagai calon istriku.. Sekali lagi, aku tak ingin mempacari kamu Vi..!” Suara serak Jaka akhirnya mampu juga mengeluarkan kata-kata terberat yang sejak dulu tersimpan dalam hati dan pikirannya selama ini. Kini agak lega karena telah berhasil ia utarakan, mengutarakannya pun dengan kondisi serius dan tidak main-main, berbeda saat dulu yang masih mengedepankan lebayisme pada perempuan. Kini ia bahasakan dengan sebenarnya, jiwa dan hati benar-benar jujur sejujur-jujurnya mengungkapkannya.
“Benarkah dengan perasaanmu, Jaka..!?, Benarkah apa yang kau katakan..?? Telisik Vivi dengan rasa tak percaya.
“Apa yang harus aku lakukan lagi Vi..! agar kamu percaya apa yang telah aku ungkapkan?!, Apakah aku harus bilang Jangankan bulan yang aku persembahkan, aku pun rela terbakar hangus karena merengkuh matahari demi mempersembahkannya padamu. Tapi yang demikian itu kan terlalu lebai Vi..!? dan kaupun tentu semakin tidak akan percaya. Atau apakah aku perlu bilang Belahlah dadaku lihatlah jantungku, perhatikan hatiku, disana tertulis namamu.. tentu sekali lagi tidak Vi..!! kau tidak akan percaya kalimat-kalimatku tersebut..!” ujar Jaka bak sastrawan yang sedang berpuisi di atas pentas.
“Bukan begitu Jaka..! ya aku percaya perasaannmu padaku. Kau itu laki-laki, biasanya berpikir dan bertindak atas dasar akal pikiran, logika, masuk akal ataukah tidak, mampu ataukah tidak, dan seterusnya. Jadi, Bisa atau tidak?, masuk akal tidak?, mampu tidak? Kau hendak meminangku, menikahiku, memperistri aku. Apakah kau sudah sanggup?!! Dengan segala kelebihan dan kelemahanku? Pun dengan kondisi kita yang masih bau kencur kayak sekarang ini..!!?” Vivi menjelaskan pada Jaka.
“Sedangkan aku perempuan, biasanya aku berpikir dan bertindak lebih mengedepankan perasaan. Kalau aku sudah terlanjur serius dengan seorang laki-laki, serius pada satu pilihan, dan sudah mengambil keputusan. Maka pantang bagiku untuk pindah kelain hati...!!!, nah saat aku demikian, tiba-tiba misalnya kamu berubah terhadapku dikemudian hari, begitu jahatnya dirimu sebagai laki-laki, menggantung perasaanku oleh cinta monyetmu..! Dan biasanya laki-laki seumuran kita, lebih-lebih kamu, biasanya masih cinta monyet kan...!!, karena bagiku, untuk seumuran kita saat ini, cinta sejati itu belum ada. Ia hanya ilusi keindahan semata.. ilusi..!” Lanjut Vivi seperti menceramahi. Maklum tak dimana-mana, biasanya perempuan lebih cepat dewasa dibanding laki-laki.
“Ia Vi.. aku hargai pendapatmu.. dan apa yang kau katakan itu benar adanya.. Aku laki-laki, lebih berat tanggungjawabku sebagai laki-laki dari pada perempuan. Terus... apa yang harus kau dan aku lakukan!? “ jelas Jaka mulai sangsi dan was-was setelah diceramahi Vivi.
“Gini aja..!, mohon maaf sebelumnya, aku minta maaf dengan sangat ya Jaka!” ujar Vivi mengawali pembicaraan kearah keputusan final tentang tanggapan dirinya trerhadap ungkapan perasaan cinta dari Jaka tadi.
“Iya Vi.. silahkan kalau kau ingin mengutarakan sesuatu. Tidak masalah dan apa pun jawabanmu tidak akan aku permasalahkan kok..!? kata Jaka menenangkan dan meyakinkan Vivi.
“Maafkan aku Jaka..! bukan aku tak ingin menghargai perasaanmu, bahkan aku berterima kasih padamu telah memilih aku sebagai salah satu perempuan yang spesial di hatimu, sehingga kau memutuskan untuk menaruh cintamu padaku, dan itu adalah suatu kehormatan bagiku sebagai perempuan. Tapi aku hanya ingin bilang padamu, untuk saat ini aku belum memikirkan sesuatu yang berkenaan dengan cinta, tunangan, apalagi sampai menikah dan berkeluarga. Sungguh pikiran dan hasratku tidak ke arah tersebut sama sekali. Apalagi kita ini kan masih SMP, cita-cita kita masih jauh kan!? Masa depan kita masih panjang kan!? Aku tak ingin cita-cita dan pengembaraan mencari ilmu ini rusak dan terputus hanya gara-gara mencintai sebelum waktunya. Alangkah baiknya kita tetap bersahabat seperti biasa, tidak ada ikatan percintaan laki-perempuan. Cukuplah hubungan persahabatan yang kita jalin, dan itu lebih indah..! masalah Jodoh.. itu urusan Tuhan, maka kita pasrahkan pada-Nya saja. Kalau misalnya kita berjodoh maka tidak akan kemana kok..! heheh.. maaf Jaka..! akuy bukan memberikan harapan palsu lho ya..!?” Jelas Vivi panjang lebar sambil menorehkan senyum.
“Iya Vi.. benar juga kamu, kalau kamu berpendapat seperti itu sepertinya aku semakin jatuh cinta padamu..!, hehe.. maksudku jatuh cinta pada sifat bijakmu...!! kedewasaanmu menyadarkanku, hidup kita, masa depan kita memang masih panjang. Aku pun berpikir demikian. Cita-citaku masih jauh, masih lama, masih panjang, dan masih ingin melanglang buana menyusuri alam ilmu. Bahkan aku bercita-cita akan menuntaskan pencarian ilmu hingga S3, kayak kepala sekolah kita itu, beliau sudah lulus S3, masak kita anak didiknya tidak...!!??” Jelas Jaka balik pada Vivi. Baik Jaka maupun Vivi sebenarnya sama-sama memiliki pemahaman yang sama tentang makna cita-cita dan masa depan. Mereka berdua sama-sama memiliki pola pikir yang mendekati kedewasaan meskipun umur mereka masih setingkat SMP.
“Baiklah..!, aku hargai pendapatmu, dan aku hormati keinginanmu. Biarlah cintaku padamu hanya sekedar kisah indah yang berlalu di semanis Bongkou. Dan kisah pilu karena cinta bertepuk sebelah tangan di pelataran multimedia ini, biarlah hanya disaksikan oleh pohon keres. Bahwa kita tetap menjalin persahabatan seperti biasanya, tidak lebih. Aku setuju dengan pendapatmu, biarlah Tuhan yang menentukan siapakah jodoh kita masing-masing nantinya, alangkah baiknya kita fokus pada masa belajar kita sekarang. Dan masalah Cinta; ya... Rab Ne Bana De Jodi, kita berjalan di atas jalan cinta yang berbeda, dan bertemu di ujung jalan cinta yang sama. Siapa tahu, setelah kita selesai dengan cita-cita masing, kita dipertemukan dengan cinta yang sama nantinya.. hehe..” tutup Jaka sambil tersenyum belibis.
“Ah kamu Jaka... ada-ada aja, berarti kamu masih berharap ya padaku...??!!” Sergah Vivi dengan dibalas senyum pada Jaka.
“Iya sekarang Vi..!, aku masih berharap. Tapi, entah nanti, mungkin aku sudah pindah ke lain hati.. hehehe...!!!” respon Jaka setengah guyon.
“Ah.. ngomong ongguh kakeh, Jaka..!” ujar Vivi seraya beranjak bangkit dari tempat duduknya.
Bel masuk telah berbunyi, menandakan kelas akan dimulai. Di hati mereka masing-masing telah menemukan titik akhir keputusan yang akan dijadikan dasar sebagai pijakan melangkah ke masa depan. Meskipun sebenarnya, diakui atau tidak, keputusan yang mereka ambil adalah keputusan di atas keputus-asaan.

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar